Cerita
Pendek Hana Rulistiawan
Bandung, Oktober 2011
Dia
masih diam. Sesekali menoleh ke arahku. Pandangannya kosong, seakan berton-ton
beban sedang berusaha dia pikul sendiri. Berkali-kali aku membujuknya bicara, dia
tetap saja diam. Satu jam yang lalu dia menelepon, mengajakku untuk bertemu.
Sengaja aku pilih kafe favoritnya ini untuk membuatnya senang. Aku mengenalnya
sebagai gadis yang ceria, tapi hari ini aku seperti tak mengenalnya.
“Sayang,
kamu kenapa?” kataku lembut. Berharap kali ini dia mau bicara.
Butiran
air bening dari matanya turun deras. Dia menangis. Aku semakin merasa serba
salah. Dia menatap mataku sebentar. Air matanya masih tak berhenti mengalir.
Masih tak bicara. Dan akupun tetap tak bisa membaca beban di matanya.
Dia
tertunduk sejenak, menarik napas panjang, “kamu tahu kan orang tua aku ingin
aku menikah dengan lelaki seperti apa?”
Aku
diam, berusaha menebak-nebak apa yang hendak dibicarakan oleh gadis yang sangat
kucintai ini. “Iya, kita pernah membicarakan hal itu…” jawabku berusaha tetap
tenang. Dia diam lagi, beberapa menit. Aku semakin yakin, ada yang tak beres. Dia
banyak diam hari ini, sungguh tidak biasa.
Yah,
dia pernah bercerita tentang keluarganya yang fanatik. Nenek moyangnya adalah
seorang ulama besar, yang menjadikan keluarganya sekarang pun menjadi keluarga
dengan ilmu agama yang kuat. Sudah bisa dibayangkan bukan? Orang tuanya pasti
ingin anak-anaknya menikah dengan lelaki dengan ilmu agama yang sama kuatnya
dengan mereka.
“Itulah
kenapa aku ingin kita bertemu. Orang tuaku ingin agar aku menikah dengan lelaki
seperti apa yang mereka harapkan selama ini…” paparnya. Pandangannya lurus ke
depan, hanya sesekali menoleh ke arahku, lalu tertunduk lagi.
Aku
biarkan dia berpikir dalam kebisuannya. Aku tahu benar, ada beban yang ingin
dibaginya padaku. Hanya mungkin emosi masih menguasai perasaannya. Aku mencoba
untuk lebih tenang, dan tetap menunggu dia bicara.
“Ayah
ingin aku menikah dengan anaknya Ustad Hakim. Aku sudah berusaha menolaknya,
tapi ayah tetap tidak mau menerima alasanku! Aku…” tiba-tiba kalimatnya
terhenti. Dia menangis lagi. Entahlah, tiba-tiba darahku terasa memanas. Udara yang
mengelus-elus kulitku terasa lebih hangat, padahal sore tadi turun hujan.
Aku
genggam kedua tangannya. Bermaksud untuk menguatkannya. Ini sangat berat
buatku, dan aku yakin begitu juga untuknya. Tapi aku tak mau egois, aku tidak
boleh hanya memikirkan diriku sendiri. Aku juga tidak ingin dikuasai amarah.
“Bagaimana
jika kita berdua bicarakan lagi dengan orang tuamu?” bujukku. Sebenarnya, aku
sendiri pun tidak yakin dengan ide itu, tapi memang tidak ada lagi yang bisa
kupikirkan.
“Sudah
kubilang, ayah tidak mau menerima alasan apapun. Ayah bilang, ia tahu apa yang
terbaik buatku!” katanya setengah berteriak sambil tetap menangis, “sudahlah,
kita harus sama-sama mengerti. Mungkin ini memang yang terbaik untuk kita…” dia
berusaha menghapus air matanya yang tetap saja mengalir dengan sapu tangan
merah jambu bermotif bunga-bunga kecil yang juga basah. Segera Aliya mengambil
tasnya lalu beranjak pergi. Aku tak menghalanginya. Kubiarkan dia pergi.
Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan
Aliya, gadis cantik yang dua tahun terakhir ini begitu aku cintai. Bukan karena
aku tidak lagi mencintainya lantas aku membiarkannya pergi begitu saja, tapi
lantaran aku sadar akan keadaanku sendiri yang jauh dari apa yang diharapkan
oleh kedua orang tuanya. Orang tuaku bukan ustad, apalagi kyai. Nenek moyang
keluargaku mungkin juga bukan seorang ulama. Biasa saja, kami mengenal Tuhan
dan kami beribadah pada-Nya.
Sekitar
setengah jam yang lalu, aku menerima pesan singkat di ponselku. Ternyata itu
dari Aliya, dia memintaku datang ke kafe ini. Sudah dua bulan kami tidak bertemu,
sejak dia memutuskan untuk menuruti keinginan orang tuanya, dan aku tidak
berani untuk menemuinya lagi. Pernah beberapa kali aku mencoba menghubunginya,
tapi selalu gagal.
Sore
ini aku akan bertemu dengannya, aku belum tahu alasan dia mengajakku bertemu. Jujur
saja, dalam hati aku memang merasa senang bisa bertemu dengan gadis yang sampai
saat ini menjadi pujaan hatiku itu. Diam-diam aku menaruh harapan bahwa
pertemuanku kali ini dengan Aliya akan membuat hubungan kami membaik dan kami
bisa bersama lagi.
Cukup
lama aku menunggu, sampai tak terasa segelas besar jus jeruk sudah sejak tadi
kuhabiskan. Aku masih menunggunya.
Dari
pintu masuk kulihat sosok yang tak asing lagi. Seorang gadis cantik yang sangat
kurindukan. Dia tampak mencari-cari sesuatu. Pandangannya terhenti padaku, lalu
bergegas mengampiriku. Tetapi ternyata Aliya tidak datang sendiri. Dia bersama
seorang pria.
Pria
itu berbadan tegap. Rambutnya terlihat mengkilap-kilap saat terkena cahaya
lampu kafe. Matanya tampak seperti orang yang mengantuk. Bibirnya yang tipis
selalu memamerkan deretan giginya yang rapi pada setiap orang dengan ramah. Kemeja
yang dikenakannya sangat rapi, seperti habis disetrika berulang kali.
“Assalamu’alaikum.”
sapa Aliya.
Aku
tertegun. Tidak biasanya ia menyapaku dengan salam seperti itu. Tiba-tiba aku
merasa asing darinya. “Wa… Waalaikumsalam,” jawabku sambil tersenyum. Lelaki di
samping Aliya menyalamiku sambil tersenyum ramah. Aku kesal, tapi berusaha
tetap tenang.
Sekarang
kami bertiga duduk di satu meja yang sama. Beberapa menit kami terdiam. Kaku.
“Ben,
kamu tahu kenapa aku mengajakmu bertemu sekarang?” kata Aliya berusaha
mencairkan ketegangan di antara kami.
“Tidak…”
ujarku pelan sambil tersenyum, “memangnya ada apa?”
Aliya
memasukan tangan kanannya ke dalam tas yang dibawanya, seperti hendak mengambil
sesuatu. “Nih, untukmu!” kata Aliya sambil menyodorkan sebuah kertas berwarna
merah padaku. Itu seperti……undangan!
Aku
kaget bukan kepalang. Aku tak menyangka pertemuanku kali ini adalah untuk
melepas gadis yang selama ini kucintai dan memberikannya pada orang lain.
Tiba-tiba dadaku sesak. Aku seperti tidak bisa bernapas. Aku ingin marah, tapi
tak bisa.
“Aku
ingin kamu datang!” lanjut Aliya yang langsung berpamitan pergi bersama calon
suaminya itu. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutku. Aku hanya bisa
memandangi Aliya berlalu, pergi begitu saja meninggalkanku yang membisu di kafe
yang mulai sepi ini.
Aliya,
dari raut wajahnya saja sangat terlihat bahwa dia sangat bahagia saat ini.
Sejak tiba di kafe dan menemuiku tadi, senyuman tak pernah lepas dari wajahnya.
Aku merasa sangat tak berarti.
Aku
rebahkan tubuhku di kasur dengan sprei warna cokelat, berharap seluruh bebanku
akan tumpah di kasur ini. Aku pejamkan mata, dan sosok gadis cantik yang telah
kucintai dua tahun terakhir ini saja yang terbayang. Aku menarik napas panjang.
Ada amarah yang tidak bisa aku tumpahkan, hingga dadaku terasa sesak, batinku
begitu sakit. Entahlah ini pertama kalinya aku merasakan hal ini. Aku baru
sadar, mungkin selama dua bulan kami tidak berhubungan, dia telah berusaha
melupakan aku dan menerima lelaki yang dipilihkan keluarganya itu.
Aku
mulai tenggelam dalam lamunan. Kenangan Aliya dan kebersamaan kami selama dua
tahun kini terasa bagai kilatan petir saat musim panas merobek-robek batinku.
Dukaku semakin dalam saat kuingat rencana kami untuk menikah tahun depan.
Pukul
dua pagi aku terbangun, Lamunanku tentang Aliya tadi telah mengantarku tidur. Aku
masih memakai kemeja berwana abu-abu yang kupakai untuk menemui Aliya tadi
sore. Pandanganku jatuh pada sehelai kartu berwarna merah di meja dekat
jendela. “Akh, Itu bukan mimpi!”
Malam
ini begitu sepi, hanya terdengar suara burung kenari peliharaan ayah dan
sesekali terdengar suara nyamuk kelaparan yang sepertinya berharap aku
membiarkannya mengambil setetes darah dari tubuhku.
Aku
beranjak dari tempat tidur. Aku tidak bisa memejamkan mata lagi, rasa kantuk
sekejap hilang saat mengingat kejadian sore tadi. Tanpa ragu, kulangkahkan kaki
menuju kamar mandi, aku langsung mengambil air untuk berwudhu. Setelah
melaksanakan salat isya, aku melanjutkannya dengan salat tahajud. Entahlah, sebenarnya
aku tidak biasa melaksanakan salat malam, tapi malam ini keinginanku untuk
melaksanakannya begitu kuat.
Mungkin
malam ini aku bisa bertemu dengan Tuhan,
aku ingin menumpahkan kekesalan di hatiku pada-Nya. Aku merasa tak ada
yang akan mengerti apa yang kurasakan saat ini selain Dia. Tuhan pasti tahu apa
yang kurasakan tanpa harus aku sendiri yang memberitahunya. Aku larut dalam
doa. Menangis dalam hati.
Sudah
satu jam aku duduk di atas sajadah hijau yang bergambarkan Ka’bah ini. Amarahku
belum reda semua, tapi sekarang beban di hatiku sudah sedikit berkurang. Aku
melanjutkan doa. Aku berdoa untuk kebahagiaan Aliya dan suaminya. Sampai detik
saat dia meninggalkanku pun aku masih sangat menyayanginya.