One Love for One's Life...

Kamis, 05 Juli 2012

ALIYA SAYANG

Cerita Pendek Hana Rulistiawan

Dia masih diam. Sesekali menoleh ke arahku. Pandangannya kosong, seakan berton-ton beban sedang berusaha dia pikul sendiri. Berkali-kali aku membujuknya bicara, dia tetap saja diam. Satu jam yang lalu dia menelepon, mengajakku untuk bertemu. Sengaja aku pilih kafe favoritnya ini untuk membuatnya senang. Aku mengenalnya sebagai gadis yang ceria, tapi hari ini aku seperti tak mengenalnya.
“Sayang, kamu kenapa?” kataku lembut. Berharap kali ini dia mau bicara.
Butiran air bening dari matanya turun deras. Dia menangis. Aku semakin merasa serba salah. Dia menatap mataku sebentar. Air matanya masih tak berhenti mengalir. Masih tak bicara. Dan akupun tetap tak bisa membaca beban di matanya.
Dia tertunduk sejenak, menarik napas panjang, “kamu tahu kan orang tua aku ingin aku menikah dengan lelaki seperti apa?”
Aku diam, berusaha menebak-nebak apa yang hendak dibicarakan oleh gadis yang sangat kucintai ini. “Iya, kita pernah membicarakan hal itu…” jawabku berusaha tetap tenang. Dia diam lagi, beberapa menit. Aku semakin yakin, ada yang tak beres. Dia banyak diam hari ini, sungguh tidak biasa.
Yah, dia pernah bercerita tentang keluarganya yang fanatik. Nenek moyangnya adalah seorang ulama besar, yang menjadikan keluarganya sekarang pun menjadi keluarga dengan ilmu agama yang kuat. Sudah bisa dibayangkan bukan? Orang tuanya pasti ingin anak-anaknya menikah dengan lelaki dengan ilmu agama yang sama kuatnya dengan mereka.
“Itulah kenapa aku ingin kita bertemu. Orang tuaku ingin agar aku menikah dengan lelaki seperti apa yang mereka harapkan selama ini…” paparnya. Pandangannya lurus ke depan, hanya sesekali menoleh ke arahku, lalu tertunduk lagi.
Aku biarkan dia berpikir dalam kebisuannya. Aku tahu benar, ada beban yang ingin dibaginya padaku. Hanya mungkin emosi masih menguasai perasaannya. Aku mencoba untuk lebih tenang, dan tetap menunggu dia bicara.
“Ayah ingin aku menikah dengan anaknya Ustad Hakim. Aku sudah berusaha menolaknya, tapi ayah tetap tidak mau menerima alasanku! Aku…” tiba-tiba kalimatnya terhenti. Dia menangis lagi. Entahlah, tiba-tiba darahku terasa memanas. Udara yang mengelus-elus kulitku terasa lebih hangat, padahal sore tadi turun hujan.
Aku genggam kedua tangannya. Bermaksud untuk menguatkannya. Ini sangat berat buatku, dan aku yakin begitu juga untuknya. Tapi aku tak mau egois, aku tidak boleh hanya memikirkan diriku sendiri. Aku juga tidak ingin dikuasai amarah.
“Bagaimana jika kita berdua bicarakan lagi dengan orang tuamu?” bujukku. Sebenarnya, aku sendiri pun tidak yakin dengan ide itu, tapi memang tidak ada lagi yang bisa kupikirkan.
“Sudah kubilang, ayah tidak mau menerima alasan apapun. Ayah bilang, ia tahu apa yang terbaik buatku!” katanya setengah berteriak sambil tetap menangis, “sudahlah, kita harus sama-sama mengerti. Mungkin ini memang yang terbaik untuk kita…” dia berusaha menghapus air matanya yang tetap saja mengalir dengan sapu tangan merah jambu bermotif bunga-bunga kecil yang juga basah. Segera Aliya mengambil tasnya lalu beranjak pergi. Aku tak menghalanginya. Kubiarkan dia pergi.
 Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan Aliya, gadis cantik yang dua tahun terakhir ini begitu aku cintai. Bukan karena aku tidak lagi mencintainya lantas aku membiarkannya pergi begitu saja, tapi lantaran aku sadar akan keadaanku sendiri yang jauh dari apa yang diharapkan oleh kedua orang tuanya. Orang tuaku bukan ustad, apalagi kyai. Nenek moyang keluargaku mungkin juga bukan seorang ulama. Biasa saja, kami mengenal Tuhan dan kami beribadah pada-Nya.
Sekitar setengah jam yang lalu, aku menerima pesan singkat di ponselku. Ternyata itu dari Aliya, dia memintaku datang ke kafe ini. Sudah dua bulan kami tidak bertemu, sejak dia memutuskan untuk menuruti keinginan orang tuanya, dan aku tidak berani untuk menemuinya lagi. Pernah beberapa kali aku mencoba menghubunginya, tapi selalu gagal.
Sore ini aku akan bertemu dengannya, aku belum tahu alasan dia mengajakku bertemu. Jujur saja, dalam hati aku memang merasa senang bisa bertemu dengan gadis yang sampai saat ini menjadi pujaan hatiku itu. Diam-diam aku menaruh harapan bahwa pertemuanku kali ini dengan Aliya akan membuat hubungan kami membaik dan kami bisa bersama lagi.
Cukup lama aku menunggu, sampai tak terasa segelas besar jus jeruk sudah sejak tadi kuhabiskan. Aku masih menunggunya.
Dari pintu masuk kulihat sosok yang tak asing lagi. Seorang gadis cantik yang sangat kurindukan. Dia tampak mencari-cari sesuatu. Pandangannya terhenti padaku, lalu bergegas mengampiriku. Tetapi ternyata Aliya tidak datang sendiri. Dia bersama seorang pria.
Pria itu berbadan tegap. Rambutnya terlihat mengkilap-kilap saat terkena cahaya lampu kafe. Matanya tampak seperti orang yang mengantuk. Bibirnya yang tipis selalu memamerkan deretan giginya yang rapi pada setiap orang dengan ramah. Kemeja yang dikenakannya sangat rapi, seperti habis disetrika berulang kali.
“Assalamu’alaikum.” sapa Aliya.
Aku tertegun. Tidak biasanya ia menyapaku dengan salam seperti itu. Tiba-tiba aku merasa asing darinya. “Wa… Waalaikumsalam,” jawabku sambil tersenyum. Lelaki di samping Aliya menyalamiku sambil tersenyum ramah. Aku kesal, tapi berusaha tetap tenang.
Sekarang kami bertiga duduk di satu meja yang sama. Beberapa menit kami terdiam. Kaku.
“Ben, kamu tahu kenapa aku mengajakmu bertemu sekarang?” kata Aliya berusaha mencairkan ketegangan di antara kami.
“Tidak…” ujarku pelan sambil tersenyum, “memangnya ada apa?”
Aliya memasukan tangan kanannya ke dalam tas yang dibawanya, seperti hendak mengambil sesuatu. “Nih, untukmu!” kata Aliya sambil menyodorkan sebuah kertas berwarna merah padaku. Itu seperti……undangan!
Aku kaget bukan kepalang. Aku tak menyangka pertemuanku kali ini adalah untuk melepas gadis yang selama ini kucintai dan memberikannya pada orang lain. Tiba-tiba dadaku sesak. Aku seperti tidak bisa bernapas. Aku ingin marah, tapi tak bisa.
“Aku ingin kamu datang!” lanjut Aliya yang langsung berpamitan pergi bersama calon suaminya itu. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutku. Aku hanya bisa memandangi Aliya berlalu, pergi begitu saja meninggalkanku yang membisu di kafe yang mulai sepi ini.
Aliya, dari raut wajahnya saja sangat terlihat bahwa dia sangat bahagia saat ini. Sejak tiba di kafe dan menemuiku tadi, senyuman tak pernah lepas dari wajahnya. Aku merasa sangat tak berarti.
Aku rebahkan tubuhku di kasur dengan sprei warna cokelat, berharap seluruh bebanku akan tumpah di kasur ini. Aku pejamkan mata, dan sosok gadis cantik yang telah kucintai dua tahun terakhir ini saja yang terbayang. Aku menarik napas panjang. Ada amarah yang tidak bisa aku tumpahkan, hingga dadaku terasa sesak, batinku begitu sakit. Entahlah ini pertama kalinya aku merasakan hal ini. Aku baru sadar, mungkin selama dua bulan kami tidak berhubungan, dia telah berusaha melupakan aku dan menerima lelaki yang dipilihkan keluarganya itu.
Aku mulai tenggelam dalam lamunan. Kenangan Aliya dan kebersamaan kami selama dua tahun kini terasa bagai kilatan petir saat musim panas merobek-robek batinku. Dukaku semakin dalam saat kuingat rencana kami untuk menikah tahun depan.
Pukul dua pagi aku terbangun, Lamunanku tentang Aliya tadi telah mengantarku tidur. Aku masih memakai kemeja berwana abu-abu yang kupakai untuk menemui Aliya tadi sore. Pandanganku jatuh pada sehelai kartu berwarna merah di meja dekat jendela. “Akh, Itu bukan mimpi!”
Malam ini begitu sepi, hanya terdengar suara burung kenari peliharaan ayah dan sesekali terdengar suara nyamuk kelaparan yang sepertinya berharap aku membiarkannya mengambil setetes darah dari tubuhku.
Aku beranjak dari tempat tidur. Aku tidak bisa memejamkan mata lagi, rasa kantuk sekejap hilang saat mengingat kejadian sore tadi. Tanpa ragu, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, aku langsung mengambil air untuk berwudhu. Setelah melaksanakan salat isya, aku melanjutkannya dengan salat tahajud. Entahlah, sebenarnya aku tidak biasa melaksanakan salat malam, tapi malam ini keinginanku untuk melaksanakannya begitu kuat.
Mungkin malam ini aku bisa bertemu dengan Tuhan,  aku ingin menumpahkan kekesalan di hatiku pada-Nya. Aku merasa tak ada yang akan mengerti apa yang kurasakan saat ini selain Dia. Tuhan pasti tahu apa yang kurasakan tanpa harus aku sendiri yang memberitahunya. Aku larut dalam doa. Menangis dalam hati.
Sudah satu jam aku duduk di atas sajadah hijau yang bergambarkan Ka’bah ini. Amarahku belum reda semua, tapi sekarang beban di hatiku sudah sedikit berkurang. Aku melanjutkan doa. Aku berdoa untuk kebahagiaan Aliya dan suaminya. Sampai detik saat dia meninggalkanku pun aku masih sangat menyayanginya.



Bandung, Oktober 2011

MALAM INI MASIH SAMA

Karya: Hana Rulistiawan


Malam ini masih sama,
Bulan yang cantik dengan sinar yang indah

Malam ini masih sama,
Aku menunggumu dengan rindu yang gundah

Malam ini masih sama,
Aku tak bisa menikmati langit yang cerah…


Pojok Kamar, 27 November 2011

GERIMIS


karya: Hana Rulistiawan

Aku masih menggilai gerimis
Meski rinainya tak selalu mendamaikan hati yang teriris

Sore ini gerimis
Tapi sayang, ia gagal membuatku tak menangis.


Bangku Teras, 2 November 2011