One Love for One's Life...

Kamis, 12 Maret 2015

Quranic Questions and Answers

Mengajarkan Al Quran pada anak sedini mungkin? Apakah bisa?

Al Quran merupakan sumber dari segala ilmu. Mengenalkan Al Quran pada anak sedari kecil akan membuat mereka ingin mengetahui apa saja yang ada dalam Al Quran.

Tapi, apakah Ananda akan mengerti dengan apa yang kita sampaikan?



Apa itu Al Quran? Dimana Al Quran diturunkan? Kapan diturunkannya? Apa saja yang ada di dalam Al Quran?



Quranic Questions and Answers menggunakan metode tanya-jawab dan disertai dengan ilustrasi menarik akan membuat belajar Al Quran semakin menyenangkan bagi anak.

Anak-anak akan mendapat wawasan Al Quran secara konkrit tentang keragaman makna yang terkandung di dalamnya. Melalui tema yang sederhana dan kaya ilustrasi memudahkan anak memahami isi buku. 

Buku yang diterbitkan oleh penerbit Imagioo Books ini memberikan gambaran yang sangat menarik tentang isi dari Al Quran. Bahasanya ringan dengan ilustrasi yang sangat apik sehingga mudah dipahami oleh anak, kita serasa diajak untuk menjelajah dan terlibat langsung dalam setiap ceritanya.

Sangat menarik sebagai bacaan anak. Membantu orang tua agar anak dapat mengenal dan mencintai Al-Qur'an.


My Quranic Questions & Answers mengajak Ayah dan Bunda untuk memperkenalkan Al Quran pada anak sejak dini. Pertanyan dan jawaban yang disertai ilutrasi menarik sangat cocok untuk anak-anak sehingga mereka dapat semakin termotivasi untuk membaca dan mengingat berbagai pengetahuan dalam buku.

Buku seri My Quranic Questions & Answers terdiri dari 10 judul buku, yaitu:
1 Ensiklopedia Al-Quran,
2 Mukjizat Al-Quran,
3 Ciptaan Allah yang disebut dalam Al-Quran,
4 Binatang yang disebut dalam Al-Quran,
5 Tempat-tempat yang disebut dalam Al-Quran,
6 Nabi yang disebut dalam Al-Quran bag.1&2,
7 Bangsa dan Kaum yang disebut dalam Al-Quran,
8 Tokoh yang disebut dalam Al-Quran,
9 Perempuan Teladan Sepanjang Zaman, dan
10 Buah dan Sayuran yang disebut dalam Al-Quran.


Kamis, 05 Juli 2012

ALIYA SAYANG

Cerita Pendek Hana Rulistiawan

Dia masih diam. Sesekali menoleh ke arahku. Pandangannya kosong, seakan berton-ton beban sedang berusaha dia pikul sendiri. Berkali-kali aku membujuknya bicara, dia tetap saja diam. Satu jam yang lalu dia menelepon, mengajakku untuk bertemu. Sengaja aku pilih kafe favoritnya ini untuk membuatnya senang. Aku mengenalnya sebagai gadis yang ceria, tapi hari ini aku seperti tak mengenalnya.
“Sayang, kamu kenapa?” kataku lembut. Berharap kali ini dia mau bicara.
Butiran air bening dari matanya turun deras. Dia menangis. Aku semakin merasa serba salah. Dia menatap mataku sebentar. Air matanya masih tak berhenti mengalir. Masih tak bicara. Dan akupun tetap tak bisa membaca beban di matanya.
Dia tertunduk sejenak, menarik napas panjang, “kamu tahu kan orang tua aku ingin aku menikah dengan lelaki seperti apa?”
Aku diam, berusaha menebak-nebak apa yang hendak dibicarakan oleh gadis yang sangat kucintai ini. “Iya, kita pernah membicarakan hal itu…” jawabku berusaha tetap tenang. Dia diam lagi, beberapa menit. Aku semakin yakin, ada yang tak beres. Dia banyak diam hari ini, sungguh tidak biasa.
Yah, dia pernah bercerita tentang keluarganya yang fanatik. Nenek moyangnya adalah seorang ulama besar, yang menjadikan keluarganya sekarang pun menjadi keluarga dengan ilmu agama yang kuat. Sudah bisa dibayangkan bukan? Orang tuanya pasti ingin anak-anaknya menikah dengan lelaki dengan ilmu agama yang sama kuatnya dengan mereka.
“Itulah kenapa aku ingin kita bertemu. Orang tuaku ingin agar aku menikah dengan lelaki seperti apa yang mereka harapkan selama ini…” paparnya. Pandangannya lurus ke depan, hanya sesekali menoleh ke arahku, lalu tertunduk lagi.
Aku biarkan dia berpikir dalam kebisuannya. Aku tahu benar, ada beban yang ingin dibaginya padaku. Hanya mungkin emosi masih menguasai perasaannya. Aku mencoba untuk lebih tenang, dan tetap menunggu dia bicara.
“Ayah ingin aku menikah dengan anaknya Ustad Hakim. Aku sudah berusaha menolaknya, tapi ayah tetap tidak mau menerima alasanku! Aku…” tiba-tiba kalimatnya terhenti. Dia menangis lagi. Entahlah, tiba-tiba darahku terasa memanas. Udara yang mengelus-elus kulitku terasa lebih hangat, padahal sore tadi turun hujan.
Aku genggam kedua tangannya. Bermaksud untuk menguatkannya. Ini sangat berat buatku, dan aku yakin begitu juga untuknya. Tapi aku tak mau egois, aku tidak boleh hanya memikirkan diriku sendiri. Aku juga tidak ingin dikuasai amarah.
“Bagaimana jika kita berdua bicarakan lagi dengan orang tuamu?” bujukku. Sebenarnya, aku sendiri pun tidak yakin dengan ide itu, tapi memang tidak ada lagi yang bisa kupikirkan.
“Sudah kubilang, ayah tidak mau menerima alasan apapun. Ayah bilang, ia tahu apa yang terbaik buatku!” katanya setengah berteriak sambil tetap menangis, “sudahlah, kita harus sama-sama mengerti. Mungkin ini memang yang terbaik untuk kita…” dia berusaha menghapus air matanya yang tetap saja mengalir dengan sapu tangan merah jambu bermotif bunga-bunga kecil yang juga basah. Segera Aliya mengambil tasnya lalu beranjak pergi. Aku tak menghalanginya. Kubiarkan dia pergi.
 Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan Aliya, gadis cantik yang dua tahun terakhir ini begitu aku cintai. Bukan karena aku tidak lagi mencintainya lantas aku membiarkannya pergi begitu saja, tapi lantaran aku sadar akan keadaanku sendiri yang jauh dari apa yang diharapkan oleh kedua orang tuanya. Orang tuaku bukan ustad, apalagi kyai. Nenek moyang keluargaku mungkin juga bukan seorang ulama. Biasa saja, kami mengenal Tuhan dan kami beribadah pada-Nya.
Sekitar setengah jam yang lalu, aku menerima pesan singkat di ponselku. Ternyata itu dari Aliya, dia memintaku datang ke kafe ini. Sudah dua bulan kami tidak bertemu, sejak dia memutuskan untuk menuruti keinginan orang tuanya, dan aku tidak berani untuk menemuinya lagi. Pernah beberapa kali aku mencoba menghubunginya, tapi selalu gagal.
Sore ini aku akan bertemu dengannya, aku belum tahu alasan dia mengajakku bertemu. Jujur saja, dalam hati aku memang merasa senang bisa bertemu dengan gadis yang sampai saat ini menjadi pujaan hatiku itu. Diam-diam aku menaruh harapan bahwa pertemuanku kali ini dengan Aliya akan membuat hubungan kami membaik dan kami bisa bersama lagi.
Cukup lama aku menunggu, sampai tak terasa segelas besar jus jeruk sudah sejak tadi kuhabiskan. Aku masih menunggunya.
Dari pintu masuk kulihat sosok yang tak asing lagi. Seorang gadis cantik yang sangat kurindukan. Dia tampak mencari-cari sesuatu. Pandangannya terhenti padaku, lalu bergegas mengampiriku. Tetapi ternyata Aliya tidak datang sendiri. Dia bersama seorang pria.
Pria itu berbadan tegap. Rambutnya terlihat mengkilap-kilap saat terkena cahaya lampu kafe. Matanya tampak seperti orang yang mengantuk. Bibirnya yang tipis selalu memamerkan deretan giginya yang rapi pada setiap orang dengan ramah. Kemeja yang dikenakannya sangat rapi, seperti habis disetrika berulang kali.
“Assalamu’alaikum.” sapa Aliya.
Aku tertegun. Tidak biasanya ia menyapaku dengan salam seperti itu. Tiba-tiba aku merasa asing darinya. “Wa… Waalaikumsalam,” jawabku sambil tersenyum. Lelaki di samping Aliya menyalamiku sambil tersenyum ramah. Aku kesal, tapi berusaha tetap tenang.
Sekarang kami bertiga duduk di satu meja yang sama. Beberapa menit kami terdiam. Kaku.
“Ben, kamu tahu kenapa aku mengajakmu bertemu sekarang?” kata Aliya berusaha mencairkan ketegangan di antara kami.
“Tidak…” ujarku pelan sambil tersenyum, “memangnya ada apa?”
Aliya memasukan tangan kanannya ke dalam tas yang dibawanya, seperti hendak mengambil sesuatu. “Nih, untukmu!” kata Aliya sambil menyodorkan sebuah kertas berwarna merah padaku. Itu seperti……undangan!
Aku kaget bukan kepalang. Aku tak menyangka pertemuanku kali ini adalah untuk melepas gadis yang selama ini kucintai dan memberikannya pada orang lain. Tiba-tiba dadaku sesak. Aku seperti tidak bisa bernapas. Aku ingin marah, tapi tak bisa.
“Aku ingin kamu datang!” lanjut Aliya yang langsung berpamitan pergi bersama calon suaminya itu. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutku. Aku hanya bisa memandangi Aliya berlalu, pergi begitu saja meninggalkanku yang membisu di kafe yang mulai sepi ini.
Aliya, dari raut wajahnya saja sangat terlihat bahwa dia sangat bahagia saat ini. Sejak tiba di kafe dan menemuiku tadi, senyuman tak pernah lepas dari wajahnya. Aku merasa sangat tak berarti.
Aku rebahkan tubuhku di kasur dengan sprei warna cokelat, berharap seluruh bebanku akan tumpah di kasur ini. Aku pejamkan mata, dan sosok gadis cantik yang telah kucintai dua tahun terakhir ini saja yang terbayang. Aku menarik napas panjang. Ada amarah yang tidak bisa aku tumpahkan, hingga dadaku terasa sesak, batinku begitu sakit. Entahlah ini pertama kalinya aku merasakan hal ini. Aku baru sadar, mungkin selama dua bulan kami tidak berhubungan, dia telah berusaha melupakan aku dan menerima lelaki yang dipilihkan keluarganya itu.
Aku mulai tenggelam dalam lamunan. Kenangan Aliya dan kebersamaan kami selama dua tahun kini terasa bagai kilatan petir saat musim panas merobek-robek batinku. Dukaku semakin dalam saat kuingat rencana kami untuk menikah tahun depan.
Pukul dua pagi aku terbangun, Lamunanku tentang Aliya tadi telah mengantarku tidur. Aku masih memakai kemeja berwana abu-abu yang kupakai untuk menemui Aliya tadi sore. Pandanganku jatuh pada sehelai kartu berwarna merah di meja dekat jendela. “Akh, Itu bukan mimpi!”
Malam ini begitu sepi, hanya terdengar suara burung kenari peliharaan ayah dan sesekali terdengar suara nyamuk kelaparan yang sepertinya berharap aku membiarkannya mengambil setetes darah dari tubuhku.
Aku beranjak dari tempat tidur. Aku tidak bisa memejamkan mata lagi, rasa kantuk sekejap hilang saat mengingat kejadian sore tadi. Tanpa ragu, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, aku langsung mengambil air untuk berwudhu. Setelah melaksanakan salat isya, aku melanjutkannya dengan salat tahajud. Entahlah, sebenarnya aku tidak biasa melaksanakan salat malam, tapi malam ini keinginanku untuk melaksanakannya begitu kuat.
Mungkin malam ini aku bisa bertemu dengan Tuhan,  aku ingin menumpahkan kekesalan di hatiku pada-Nya. Aku merasa tak ada yang akan mengerti apa yang kurasakan saat ini selain Dia. Tuhan pasti tahu apa yang kurasakan tanpa harus aku sendiri yang memberitahunya. Aku larut dalam doa. Menangis dalam hati.
Sudah satu jam aku duduk di atas sajadah hijau yang bergambarkan Ka’bah ini. Amarahku belum reda semua, tapi sekarang beban di hatiku sudah sedikit berkurang. Aku melanjutkan doa. Aku berdoa untuk kebahagiaan Aliya dan suaminya. Sampai detik saat dia meninggalkanku pun aku masih sangat menyayanginya.



Bandung, Oktober 2011

MALAM INI MASIH SAMA

Karya: Hana Rulistiawan


Malam ini masih sama,
Bulan yang cantik dengan sinar yang indah

Malam ini masih sama,
Aku menunggumu dengan rindu yang gundah

Malam ini masih sama,
Aku tak bisa menikmati langit yang cerah…


Pojok Kamar, 27 November 2011

GERIMIS


karya: Hana Rulistiawan

Aku masih menggilai gerimis
Meski rinainya tak selalu mendamaikan hati yang teriris

Sore ini gerimis
Tapi sayang, ia gagal membuatku tak menangis.


Bangku Teras, 2 November 2011

Kamis, 31 Mei 2012

DO RE MI


(Cerpen Hana Rulistiawan) 

Jantung Dodo berdebar setiap kali melewati rumah tua yang ada di ujung gang itu. Banyak yang bilang rumah itu berhantu. Mengingat hal itu, Dodo mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah sambil sesekali menoleh ke arah rumah tua yang kelihatannya sebentar lagi akan ambruk itu. Rere dan Mimi teman Dodo pun sama, keduanya selalu saja berlarian saat melewati rumah tua itu.
Dinding dan kayu penyangga rumah itu terlihat banyak yang keropos, pekarangannya juga kotor seperti tidak terurus. Banyak orang bilang kalau mereka sering melihat sesosok bayangan dari dalam rumah itu. Ada yang mengatakan, penghuni rumah ini adalah monster yang menakutkan. Ada juga yang bilang kalau rumah itu dihuni oleh seorang nenek tua yang misterius dengan kulit dan rambut yang serba putih. Tapi selama ini Dodo dan kawan-kawannya belum pernah sekalipun melihat penampakan di rumah itu. Padahal hampir setiap hari DOREMI (Dodo, Rere, dan Mimi) melewati rumah itu.
Rumah tua itu memang tidak kosong, di sana tinggal seorang nenek. Mama Dodo bilang, nenek itu bernama Bu Dorman. Kulitnya putih dan keriput. Rambut dan alisnya putih. Dia terlihat sangat tua, jalannya pun sedikit bungkuk.

***

Sore itu sepulang sekolah, Dodo disuruh Mamanya ke warung untuk membeli cabai. Sebenarnya Dodo malas, karena warungnya tepat di sebelah rumah nenek angker itu. Saat sedang menunggu pesanan cabainya disiapkan oleh si ibu pemilik warung, Dodo mendengar suara piano mengalun. Dodo mencari-cari darimana asal suara piano itu. Betapa kagetnya Dodo saat tahu piano itu berasal dari rumah si nenek angker. Kaki Dodo pun jadi lemas, jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar. Dia langsung saja lari sekencang mungkin saat cabai yang disuruh ibunya sudah dia dapatkan.
Sesampainya di rumah, Dodo langsung masuk dan mengunci pintu. Melihat tingkah laku Dodo seperti itu, Mamanya pun merasa kebingungan.
“Kamu kenapa, Do?” tanya Mama Dodo.
“Itu, Ma… Itu! Serem!” kata Dodo sambil mengelap keringat di dahinya.
“Itu apa, Dodo? Kamu tuh kayak yang habis lihat setan saja!” kata Mamanya sambil tertawa.
“Ini lebih parah, Ma! Setannya bisa main piano!” jawab Dodo yang masih saja terlihat ketakutan.
Hush! Kamu ini ada-ada saja. Sudah cepat cuci tangan, langsung makan tuh sudah Mama siapkan.”
“Yaaahhh, Mama… padahal Dodo serius,” gumam Dodo sambil pergi ke kamar mandi dan mencuci tangannya.

***

Keesokan harinya saat jam istirahat di sekolah, Dodo hendak menceritakan pengalamannya kemarin pada teman-temannya. Tentu saja, Rere dan Mimi pun tidak mau ketinggalan.
“Yang benar, Do?” tanya Mimi penasaran.
“Iya, benar. Masa aku bohong!” jawab Dodo.
“Wah, berarti hebat juga ya itu nenek?” kata Rere sambil tersenyum.
“Ih, hebat apanya? Seram!” timpal Dodo.
“Ah, Rere ada-ada saja! Masa seorang nenek tua yang misterius itu dibilang hebat? Hmm…” kata Dodo dalam hati.
Seperti biasanya, DOREMI pulang sekolah lewat rumah nenek angker itu. Tiba-tiba tanpa sengaja, mereka mendengar samar-samar beberapa orang sedang bercakap-cakap. Sesekali ia mendengar ucapan-ucapan kasar dari seseorang yang entah di mana. Karena penasaran, dengan berlahan-lahan Rere berniat menguping pembicaraan orang tersebut.
“Heh, Rere! Gimana kalau ketahuan?” kata Dodo sambil berbisik melihat Rere yang mengendap-endap memasuki halaman rumah angker itu. Tanpa menghiraukan ucapan Dodo dan Mimi, Rere pun terus berdiri di halaman rumah angker itu. Tiba-tiba… terdengar suara langkah kaki seseorang dari arah samping rumah. Rere hampir tertangkap, jika seandainya dia tidak langsung mengambil langkah seribu dan bersembunyi di balik salah satu pohon jati rumah itu. Setelah orang itu masuk ke dalam rumah, DOREMI pun langsung kabur dari rumah itu.
“Aku yakin, ada yang tidak beres dengan rumah tua itu!” kata Rere dengan sangat yakin.
“Maksud kamu apa, Re?” tanya Mimi.
“Kayaknya ini harus di laporin ke Pak Lurah deh,” lanjut Rere meyakinkan.
“Eh jangan dulu! Nanti kalau ternyata informasinya salah gimana?” ucap Dodo.
“Hmm, iya juga sih. Ya sudah, gimana kalau besok kita kesana lagi?” usul Rere. “Sekalian, mungkin kita bisa melacak dan membongkar kedok nenek tua itu!” Mulailah si Rere beraksi dengan gaya sok detektifnya. Dia memang bercita-cita menjadi seorang detektif, seperti tokoh kartun kesukaannya, Conan.
“Oke! Oke!” jawab Dodo dan Mimi berbarengan.

***

Seperti janji mereka kemarin, hari ini DOREMI sepakat untuk kembali mengintai rumah nenek angker itu. Maka sepulang sekolah ketiganya langsung nongkrong di warung yang ada di samping rumah si nenek angker.
Sudah hampir satu jam Dodo, Rere, dan Mimi menunggu. Tapi tidak ada pergerakan apapun di rumah angker itu.
“Kita pulang saja, yuk!” ajak Mimi yang sudah terlihat bosan.
“Iya, yuk!” kata Dodo ikut-ikutan, “lapar nih.”
“Hmm, tunggulah sebentar lagi!” kata Rere yang masih saja terlihat semangat.
“Sudahlah, Re… dari tadi kita sudah tunggu di sini dan ternyata tidak ada apa-apa,” bujuk Dodo, “bagaimana kalau kita lanjutkan lagi nanti?”
Karena merasa kasihan kepada kedua temannya, Rere pun setuju untuk pulang.
Malam harinya, Rere mendatangi rumah Dodo dan mengajaknya untuk melanjutkan misi pengintaian rumah nenek angker itu. Sebenarnya Dodo sangat malas, apalagi ini sudah malam. Tapi karena Rere memaksa, akhirnya Dodo ikut juga. Mereka hanya berdua pergi ke rumah itu, karena Mimi tidak diizinkan keluar rumah oleh orang tuanya.
Krik...krik…kriiikk… Suara jangkrik dan keheningan malam menyelimuti Rere dan Dodo di halaman rumah nenek angker. Angin mulai kencang, udara menjadi sangat dingin. Dodo pun mulai merinding.
“Kenapa enggak besok saja sih, Re? Ini kan sudah malam,” tanya Dodo.
“Habisnya aku tidak sabar menunggu besok. Aku ingin cepat-cepat tahu rahasia apa yang ada di rumah ini,” jawab Rere yang merasa sangat yakin kalau rumah nenek angker ini menyimpan rahasia yang bisa dia pecahkan.
Tiba-tiba mereka mendengar suara serak, “sedang apa kalian di sini?”
Mata Dodo dan Rere terbelalak. Mereka sangat terkejut saat melihat seorang nenek berkulit putih dengan rambut panjang yang juga putih sudah berdiri dekat mereka. Kulitnya keriput, matanya merah. Sangat menakutkan!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!” Dodo dan Rere teriak berbarengan dan langsung lari sekencang-kencangnya seperti sudah melihat setan.

***

Pagi harinya Dodo kedatangan tamu, dan betapa kagetnya Dodo saat tahu tamunya itu adalah si nenek angker. Awalnya Dodo tidak mau menemui nenek itu, tapi karena paksaan dari Mamanya akhirnya Dodo pun bertemu dengan nenek itu dan meminta maaf atas kejadian semalam.
Ternyata nenek tua yang dianggap angker itu adalah seorang nenek yang ramah dan baik hati. Buktinya ia tidak marah dengan sikap Dodo dan teman-temannya yang mencurigai rumah itu.
Sebenarnya nenek tua yang misterius itu adalah guru kesenian Mama Dodo saat SD dulu. Makanya, ia sangat pandai memainkan alat musik, termasuk piano. Hanya saja karena umurnya yang sudah cukup tua, ia hanya sekali-kali memainkannya. Itu pun hanya untuk menghibur diri saat merasa sepi karena tinggal di rumah itu seorang diri. Mendengar hal itu, Dodo pun berniat mengajak DOREMI untuk melakukan sesuatu agar dapat menyenangkan hati si nenek.
Mulai saat itu, setiap pulang sekolah DOREMI selalu mampir ke rumah nenek yang tidak angker lagi itu untuk sekedar menemani si nenek dan bahkan membantu si nenek membersihkan rumahnya yang cukup besar itu.

***

LOVE IS NOTHING


(Cerpen Hana Rulistiawan)


Rabu, 5 Agustus 2009
Hari ini, hari pertama masuk kuliah.
Akh, senangnya… akhirnya menjadi seorang mahasiswa! Hehehe...
Punya temen baru nih, nama Shila. Dia orangnya baik banget, pinter lagi!
Ada juga si Sam, cowok ganteng yang rada2 aduhai (eh???) tapi orangnya baik ko!
Hmm, temen yang lain? Ada sih, tapi standar lah… =)

Sabtu, 10 Oktober 2009
Malming… (alias malam minggu)
Diajakin Shila sama Sam ke Café Cookies yang katanya sih keren!
Tapi bener loh, di sana banyak banget menu yang isinya cokelat… aaaahhh, I love cokolate so much!! :D
Oiya, keren juga nih di sana suka diputer lagu2nya Judika, penyanyi idolaku…
Eh, satu lagi ! dikenalin sama waiter (pelayan) temennya si Sam tuh.. namanya Gara, ganteng loh ! hehehe

Minggu, 18 Oktober 2009
Dapet sms yang isinya:
“Hai, ini Silphia ya? Saya Gara, temennya Sam yang waktu itu ketemu di Cookies…”
Waaaahh, cowok ganteng yang di Café ituuuuu !
Yaudah deh kenalan… :)

Sabtu, 14 November 2009
Eh, jadi sering banget deh ke Café ini…
Tiap malming udah pasti ! malah tiap ga kuliah, nongkrong nih di sini.
Jadi makin deket sama Gara loh…hihihi

Sabtu, 21 November 2009
Hmm, baru nyadar…ini ko tiap Aku nulis ada nama Gara-nya terus ya??? Hehehe…

Jumat, 1 Januari 2010
Hai haiiii….
Udah lama nih ga nulis2..
HAPPY NEW YEAR YAAA !!!! :)
Happy new LOVE jugaaaaa! (Loh?) aku baru jadian nih sama Gara..hihihi
Segitu dulu deh ceritanya, masih harus belajar…lagi UAS kan!
Night :)

Kamis, 21 Januari 2010
Selesai UAS ! semoga nilainya memuaskan! Amin.

Jumat, 22 Januari 2010
Eh, mau cerita dikit nih soal Gara…
Gara tuh umurnya 23 tahun. Orangnya ganteng, baik, dewasa, the best deh!
Sekarang dia jadi karyawan (waiter) di Café Cookies. Yaaa, emang ga kuliah sih…tapi dia pinter ko! :)
Udah beberapa minggu sama Gara, jalan2, ketemu di Café Cookies, nonton, banyak deh.
I Love GARA ! :)

Senin, 8 Februari 2010
Lagi libur nih…BETE ! pengen jalan2, tapi Gara-nya lagi kerja :(

Rabu, 9 Juni 2010
Tiba-tiba Ayah sama Bunda bilang kalo aku dijodohin sama Ryan! Anak dari sahabatnya Ayah…dan Aku ga boleh nolak!!!
Soalnya Ayah sama Bunda udah setuju!
Tuhaaaaannnnn ! :’(

Kamis, 10 Juni 2010
Gara liat aku dijemput Ryan di kampus! Dia marah dan ga mau dengar penjelasan aku :((

Selasa, 22 Juni 2010
Sudah beberapa hari, Gara masih marah.
Dia ga mau ketemu aku, bahkan semua smsku ga ada yang ditanggapi!
Padahal aku cuma pengen ketemu dia, aku mau jelasin semuanya… :(

Kamis, 8 Juli 2010
Tadi siang Ryan ngajak Aku makan siang…tau ga dimana??? Di Café Cookies!!!!!!
Aku cuma bisa tunduk di depan Gara… aku ga berani liat wajahnya.
Dan tau apa? Ryan bilang ke Gara “kamu temennya Phia kan? Lusa aku sama Phia tunangan…kamu harus datang yaa…!”
Lalu, Gara jawab sambil tersenyum : “PASTI!!!”

SAKIIIIIITTTTTT !!!

Jumat, 9 Juli 2010
Besok Aku tunangan… dan Gara masih belum tau alasanku!
Aku cuma mau bilang, Aku bukan pengkhianat ! tapi Aku memang ga punya pilihan… I LOVE GARA !!!!!

Sabtu, 10 Juli 2010
Tadi Gara datang di acara pertunanganku… Tapi ga bisa ngobrol apapun…dadaku sakit!!!
Oiya, barusan Gara sms:
“Aku dinaikin ke divisi yang lebih bagus… makasih karena beberapa bulan ini kamu yang nyemangatin Aku! Aku masih ingat janjiku, gaji pertamaku kalo udah naik pangkat buat traktir kamu… tapi sepertinya sekarang udah ga perlu…selamat yaa pertunangannya, aku doain kamu bahagia terus :)”
Aku coba balas smsnya, tapi Gara ga mau balas lagi :(
Sekarang di jariku ada cincin. Entahlah, Aku tak merasa bahagia…

Sabtu, 17 Juli 2010
Aku mulai merindukan Gara…
Di acara pertunangan itu, mungkin terakhir kalinya ketemu… tiap ke Café Cookies, dia ga ada!!

Jumat, 30 Juli 2010
Kerinduanku semakin menjadi!
Malam ini aku memberanikan diri untuk berbicara pada Ayah dan Bunda, tentang Gara!
Ayah dan Bunda marah besar!!! Mereka bilang, Gara tak punya masa depan! Beda dengan Ryan yang anak pengusaha. (pertanyaanku, apakah masa depan hanya milik orang kaya saja?)

Aku ga boleh keluar rumah, kecuali diantar Ryan!

Rabu, 4 Agustus 2010
Seperti biasa, aku kuliah diantar Ryan. Tapi hari ini aku bolos!
Setelah mobil Ryan keluar dari kampus, aku langsung pergi ke Café Cookies!
Seperti hari-hari sebelumnya, aku ga bisa ketemu Gara…
Aku coba cari informasi tentang Gara semampuku…
Tapi tak ada !!! :((
Aku malas pulang! Setelah memaksa Shila, akhirnya ia mengijinkanku menginap di kosannya.

Kamis, 5 Agustus 2010
Tadi pagi aku dijemput paksa oleh orangtuaku dan Ryan dari kosan Shila.
Rasanya seperti narapidana yang kabur dari penjara!
Tangisanku sangat tak berarti apa-apa.
Mereka memarahiku, membentakku di depan semua penghuni kosan. Aku malu!

Jumat, 6 Agustus 2010
Mulai hari ini aku tidak diijinkan pergi kuliah.
Orangtuaku bilang Ryan yang akan menjamin kehidupanku kelak, jadi aku tak perlu capek kuliah apalagi bekerja.

Sabtu, 7 Agustus 2010
Tadi sore aku dengar Ayah dan Bunda sedang berbincang dengan keluarga Ryan. Mereka membicarakan tentang pernikahanku dan Ryan… dadaku sesak!!!

Minggu, 8 Agustus 2010
Aku masih ga boleh keluar rumah.
Ah, temanku satu-satunya cuma buku harian ini!
Bosan!

Minggu, 10 Oktober 2010
Tadi siang Ryan ke rumah, dia bilang setelah menikah nanti… ia akan mengajakku tinggal di daerah Lembang, Bandung, katanya tempatnya bagus, dan aku pasti akan menyukainya.
Akhh!!! Dimanapun itu, aku tetap tak akan bisa menemukan Gara !!!

Minggu, 14 November 2010
Kabarnya pernikahanku akan dipercepat…
Aku mulai stress!
Gara, kamu dimana…???!!!

Kamis, 30 Desember 2010
Selamat tinggal Jakarta…
Selamat tinggal Shila, Sam…
Selamat tinggal cinta, selamat tinggal Gara!!!!
Aku akan berhenti mencarimu, merindukanmu, aku berhenti mencintaimu!
Satu hal yang baru kusadari, kau tak pernah mencariku…

Silphia Rizkita (Phia)

Gara langsung menutup buku harian Silphia, setelah bagian terakhir itu selesai ia baca. Satu-satunya kenang-kenangan yang dititipkan Silphia untuk Gara melalui Sam. Sakit memang, tapi akhirnya ia tahu bahwa Phia meninggalkannya bukan karena berkhianat, melainkan karena ia menuruti keinginan orangtuanya.
Ah, padahal sudah berkali-kali Gara membaca isi buku harian Silphia itu, tapi ia tak bosan. Gara selalu membacanya saat ia rindu pada Phia, gadis yang dua tahun lalu sering duduk bersamanya di sini. Pertemuannya dengan Phia tak pernah sekalipun ia sesali, karena pertemuan itu menjadi awal pembelajaran baru baginya. Cinta bagi banyak orang tentu merupakan suatu kebahagiaan, tapi bagi sebagian orang yang tak bisa memilikinya cinta adalah kesakitan, dan mungkin masih banyak definisi lain yang berbeda tentang cinta. Seperti cintanya bersama Phia yang ternyata tak berarti apa-apa jika tanpa restu orangtua Phia.
Gara ingat betul, pertama kali bertemu Phia, disini! Di Café Cookies… malam minggu, seperti sekarang saat lagu “Bukan Salah Kita” yang dinyanyikan oleh Judika diputar. Gara tersenyum, ia ingat betul itu adalah lagu kesukaan Phia.
“Maaf aku tak pernah membiarkanmu menemuiku! Bukan karena aku tak ingin bertemu denganmu, tapi aku merasa tak pantas ada disamping kamu! Meskipun cinta kita berdua pada akhirnya tak berarti apa-apa, aku selalu berdoa buat kamu Phia, semoga kamu selalu bahagia dengan suamimu… Aku sangat merindukanmu…”

***