One Love for One's Life...

Kamis, 31 Mei 2012

DO RE MI


(Cerpen Hana Rulistiawan) 

Jantung Dodo berdebar setiap kali melewati rumah tua yang ada di ujung gang itu. Banyak yang bilang rumah itu berhantu. Mengingat hal itu, Dodo mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah sambil sesekali menoleh ke arah rumah tua yang kelihatannya sebentar lagi akan ambruk itu. Rere dan Mimi teman Dodo pun sama, keduanya selalu saja berlarian saat melewati rumah tua itu.
Dinding dan kayu penyangga rumah itu terlihat banyak yang keropos, pekarangannya juga kotor seperti tidak terurus. Banyak orang bilang kalau mereka sering melihat sesosok bayangan dari dalam rumah itu. Ada yang mengatakan, penghuni rumah ini adalah monster yang menakutkan. Ada juga yang bilang kalau rumah itu dihuni oleh seorang nenek tua yang misterius dengan kulit dan rambut yang serba putih. Tapi selama ini Dodo dan kawan-kawannya belum pernah sekalipun melihat penampakan di rumah itu. Padahal hampir setiap hari DOREMI (Dodo, Rere, dan Mimi) melewati rumah itu.
Rumah tua itu memang tidak kosong, di sana tinggal seorang nenek. Mama Dodo bilang, nenek itu bernama Bu Dorman. Kulitnya putih dan keriput. Rambut dan alisnya putih. Dia terlihat sangat tua, jalannya pun sedikit bungkuk.

***

Sore itu sepulang sekolah, Dodo disuruh Mamanya ke warung untuk membeli cabai. Sebenarnya Dodo malas, karena warungnya tepat di sebelah rumah nenek angker itu. Saat sedang menunggu pesanan cabainya disiapkan oleh si ibu pemilik warung, Dodo mendengar suara piano mengalun. Dodo mencari-cari darimana asal suara piano itu. Betapa kagetnya Dodo saat tahu piano itu berasal dari rumah si nenek angker. Kaki Dodo pun jadi lemas, jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar. Dia langsung saja lari sekencang mungkin saat cabai yang disuruh ibunya sudah dia dapatkan.
Sesampainya di rumah, Dodo langsung masuk dan mengunci pintu. Melihat tingkah laku Dodo seperti itu, Mamanya pun merasa kebingungan.
“Kamu kenapa, Do?” tanya Mama Dodo.
“Itu, Ma… Itu! Serem!” kata Dodo sambil mengelap keringat di dahinya.
“Itu apa, Dodo? Kamu tuh kayak yang habis lihat setan saja!” kata Mamanya sambil tertawa.
“Ini lebih parah, Ma! Setannya bisa main piano!” jawab Dodo yang masih saja terlihat ketakutan.
Hush! Kamu ini ada-ada saja. Sudah cepat cuci tangan, langsung makan tuh sudah Mama siapkan.”
“Yaaahhh, Mama… padahal Dodo serius,” gumam Dodo sambil pergi ke kamar mandi dan mencuci tangannya.

***

Keesokan harinya saat jam istirahat di sekolah, Dodo hendak menceritakan pengalamannya kemarin pada teman-temannya. Tentu saja, Rere dan Mimi pun tidak mau ketinggalan.
“Yang benar, Do?” tanya Mimi penasaran.
“Iya, benar. Masa aku bohong!” jawab Dodo.
“Wah, berarti hebat juga ya itu nenek?” kata Rere sambil tersenyum.
“Ih, hebat apanya? Seram!” timpal Dodo.
“Ah, Rere ada-ada saja! Masa seorang nenek tua yang misterius itu dibilang hebat? Hmm…” kata Dodo dalam hati.
Seperti biasanya, DOREMI pulang sekolah lewat rumah nenek angker itu. Tiba-tiba tanpa sengaja, mereka mendengar samar-samar beberapa orang sedang bercakap-cakap. Sesekali ia mendengar ucapan-ucapan kasar dari seseorang yang entah di mana. Karena penasaran, dengan berlahan-lahan Rere berniat menguping pembicaraan orang tersebut.
“Heh, Rere! Gimana kalau ketahuan?” kata Dodo sambil berbisik melihat Rere yang mengendap-endap memasuki halaman rumah angker itu. Tanpa menghiraukan ucapan Dodo dan Mimi, Rere pun terus berdiri di halaman rumah angker itu. Tiba-tiba… terdengar suara langkah kaki seseorang dari arah samping rumah. Rere hampir tertangkap, jika seandainya dia tidak langsung mengambil langkah seribu dan bersembunyi di balik salah satu pohon jati rumah itu. Setelah orang itu masuk ke dalam rumah, DOREMI pun langsung kabur dari rumah itu.
“Aku yakin, ada yang tidak beres dengan rumah tua itu!” kata Rere dengan sangat yakin.
“Maksud kamu apa, Re?” tanya Mimi.
“Kayaknya ini harus di laporin ke Pak Lurah deh,” lanjut Rere meyakinkan.
“Eh jangan dulu! Nanti kalau ternyata informasinya salah gimana?” ucap Dodo.
“Hmm, iya juga sih. Ya sudah, gimana kalau besok kita kesana lagi?” usul Rere. “Sekalian, mungkin kita bisa melacak dan membongkar kedok nenek tua itu!” Mulailah si Rere beraksi dengan gaya sok detektifnya. Dia memang bercita-cita menjadi seorang detektif, seperti tokoh kartun kesukaannya, Conan.
“Oke! Oke!” jawab Dodo dan Mimi berbarengan.

***

Seperti janji mereka kemarin, hari ini DOREMI sepakat untuk kembali mengintai rumah nenek angker itu. Maka sepulang sekolah ketiganya langsung nongkrong di warung yang ada di samping rumah si nenek angker.
Sudah hampir satu jam Dodo, Rere, dan Mimi menunggu. Tapi tidak ada pergerakan apapun di rumah angker itu.
“Kita pulang saja, yuk!” ajak Mimi yang sudah terlihat bosan.
“Iya, yuk!” kata Dodo ikut-ikutan, “lapar nih.”
“Hmm, tunggulah sebentar lagi!” kata Rere yang masih saja terlihat semangat.
“Sudahlah, Re… dari tadi kita sudah tunggu di sini dan ternyata tidak ada apa-apa,” bujuk Dodo, “bagaimana kalau kita lanjutkan lagi nanti?”
Karena merasa kasihan kepada kedua temannya, Rere pun setuju untuk pulang.
Malam harinya, Rere mendatangi rumah Dodo dan mengajaknya untuk melanjutkan misi pengintaian rumah nenek angker itu. Sebenarnya Dodo sangat malas, apalagi ini sudah malam. Tapi karena Rere memaksa, akhirnya Dodo ikut juga. Mereka hanya berdua pergi ke rumah itu, karena Mimi tidak diizinkan keluar rumah oleh orang tuanya.
Krik...krik…kriiikk… Suara jangkrik dan keheningan malam menyelimuti Rere dan Dodo di halaman rumah nenek angker. Angin mulai kencang, udara menjadi sangat dingin. Dodo pun mulai merinding.
“Kenapa enggak besok saja sih, Re? Ini kan sudah malam,” tanya Dodo.
“Habisnya aku tidak sabar menunggu besok. Aku ingin cepat-cepat tahu rahasia apa yang ada di rumah ini,” jawab Rere yang merasa sangat yakin kalau rumah nenek angker ini menyimpan rahasia yang bisa dia pecahkan.
Tiba-tiba mereka mendengar suara serak, “sedang apa kalian di sini?”
Mata Dodo dan Rere terbelalak. Mereka sangat terkejut saat melihat seorang nenek berkulit putih dengan rambut panjang yang juga putih sudah berdiri dekat mereka. Kulitnya keriput, matanya merah. Sangat menakutkan!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!” Dodo dan Rere teriak berbarengan dan langsung lari sekencang-kencangnya seperti sudah melihat setan.

***

Pagi harinya Dodo kedatangan tamu, dan betapa kagetnya Dodo saat tahu tamunya itu adalah si nenek angker. Awalnya Dodo tidak mau menemui nenek itu, tapi karena paksaan dari Mamanya akhirnya Dodo pun bertemu dengan nenek itu dan meminta maaf atas kejadian semalam.
Ternyata nenek tua yang dianggap angker itu adalah seorang nenek yang ramah dan baik hati. Buktinya ia tidak marah dengan sikap Dodo dan teman-temannya yang mencurigai rumah itu.
Sebenarnya nenek tua yang misterius itu adalah guru kesenian Mama Dodo saat SD dulu. Makanya, ia sangat pandai memainkan alat musik, termasuk piano. Hanya saja karena umurnya yang sudah cukup tua, ia hanya sekali-kali memainkannya. Itu pun hanya untuk menghibur diri saat merasa sepi karena tinggal di rumah itu seorang diri. Mendengar hal itu, Dodo pun berniat mengajak DOREMI untuk melakukan sesuatu agar dapat menyenangkan hati si nenek.
Mulai saat itu, setiap pulang sekolah DOREMI selalu mampir ke rumah nenek yang tidak angker lagi itu untuk sekedar menemani si nenek dan bahkan membantu si nenek membersihkan rumahnya yang cukup besar itu.

***

LOVE IS NOTHING


(Cerpen Hana Rulistiawan)


Rabu, 5 Agustus 2009
Hari ini, hari pertama masuk kuliah.
Akh, senangnya… akhirnya menjadi seorang mahasiswa! Hehehe...
Punya temen baru nih, nama Shila. Dia orangnya baik banget, pinter lagi!
Ada juga si Sam, cowok ganteng yang rada2 aduhai (eh???) tapi orangnya baik ko!
Hmm, temen yang lain? Ada sih, tapi standar lah… =)

Sabtu, 10 Oktober 2009
Malming… (alias malam minggu)
Diajakin Shila sama Sam ke Café Cookies yang katanya sih keren!
Tapi bener loh, di sana banyak banget menu yang isinya cokelat… aaaahhh, I love cokolate so much!! :D
Oiya, keren juga nih di sana suka diputer lagu2nya Judika, penyanyi idolaku…
Eh, satu lagi ! dikenalin sama waiter (pelayan) temennya si Sam tuh.. namanya Gara, ganteng loh ! hehehe

Minggu, 18 Oktober 2009
Dapet sms yang isinya:
“Hai, ini Silphia ya? Saya Gara, temennya Sam yang waktu itu ketemu di Cookies…”
Waaaahh, cowok ganteng yang di Café ituuuuu !
Yaudah deh kenalan… :)

Sabtu, 14 November 2009
Eh, jadi sering banget deh ke Café ini…
Tiap malming udah pasti ! malah tiap ga kuliah, nongkrong nih di sini.
Jadi makin deket sama Gara loh…hihihi

Sabtu, 21 November 2009
Hmm, baru nyadar…ini ko tiap Aku nulis ada nama Gara-nya terus ya??? Hehehe…

Jumat, 1 Januari 2010
Hai haiiii….
Udah lama nih ga nulis2..
HAPPY NEW YEAR YAAA !!!! :)
Happy new LOVE jugaaaaa! (Loh?) aku baru jadian nih sama Gara..hihihi
Segitu dulu deh ceritanya, masih harus belajar…lagi UAS kan!
Night :)

Kamis, 21 Januari 2010
Selesai UAS ! semoga nilainya memuaskan! Amin.

Jumat, 22 Januari 2010
Eh, mau cerita dikit nih soal Gara…
Gara tuh umurnya 23 tahun. Orangnya ganteng, baik, dewasa, the best deh!
Sekarang dia jadi karyawan (waiter) di Café Cookies. Yaaa, emang ga kuliah sih…tapi dia pinter ko! :)
Udah beberapa minggu sama Gara, jalan2, ketemu di Café Cookies, nonton, banyak deh.
I Love GARA ! :)

Senin, 8 Februari 2010
Lagi libur nih…BETE ! pengen jalan2, tapi Gara-nya lagi kerja :(

Rabu, 9 Juni 2010
Tiba-tiba Ayah sama Bunda bilang kalo aku dijodohin sama Ryan! Anak dari sahabatnya Ayah…dan Aku ga boleh nolak!!!
Soalnya Ayah sama Bunda udah setuju!
Tuhaaaaannnnn ! :’(

Kamis, 10 Juni 2010
Gara liat aku dijemput Ryan di kampus! Dia marah dan ga mau dengar penjelasan aku :((

Selasa, 22 Juni 2010
Sudah beberapa hari, Gara masih marah.
Dia ga mau ketemu aku, bahkan semua smsku ga ada yang ditanggapi!
Padahal aku cuma pengen ketemu dia, aku mau jelasin semuanya… :(

Kamis, 8 Juli 2010
Tadi siang Ryan ngajak Aku makan siang…tau ga dimana??? Di Café Cookies!!!!!!
Aku cuma bisa tunduk di depan Gara… aku ga berani liat wajahnya.
Dan tau apa? Ryan bilang ke Gara “kamu temennya Phia kan? Lusa aku sama Phia tunangan…kamu harus datang yaa…!”
Lalu, Gara jawab sambil tersenyum : “PASTI!!!”

SAKIIIIIITTTTTT !!!

Jumat, 9 Juli 2010
Besok Aku tunangan… dan Gara masih belum tau alasanku!
Aku cuma mau bilang, Aku bukan pengkhianat ! tapi Aku memang ga punya pilihan… I LOVE GARA !!!!!

Sabtu, 10 Juli 2010
Tadi Gara datang di acara pertunanganku… Tapi ga bisa ngobrol apapun…dadaku sakit!!!
Oiya, barusan Gara sms:
“Aku dinaikin ke divisi yang lebih bagus… makasih karena beberapa bulan ini kamu yang nyemangatin Aku! Aku masih ingat janjiku, gaji pertamaku kalo udah naik pangkat buat traktir kamu… tapi sepertinya sekarang udah ga perlu…selamat yaa pertunangannya, aku doain kamu bahagia terus :)”
Aku coba balas smsnya, tapi Gara ga mau balas lagi :(
Sekarang di jariku ada cincin. Entahlah, Aku tak merasa bahagia…

Sabtu, 17 Juli 2010
Aku mulai merindukan Gara…
Di acara pertunangan itu, mungkin terakhir kalinya ketemu… tiap ke Café Cookies, dia ga ada!!

Jumat, 30 Juli 2010
Kerinduanku semakin menjadi!
Malam ini aku memberanikan diri untuk berbicara pada Ayah dan Bunda, tentang Gara!
Ayah dan Bunda marah besar!!! Mereka bilang, Gara tak punya masa depan! Beda dengan Ryan yang anak pengusaha. (pertanyaanku, apakah masa depan hanya milik orang kaya saja?)

Aku ga boleh keluar rumah, kecuali diantar Ryan!

Rabu, 4 Agustus 2010
Seperti biasa, aku kuliah diantar Ryan. Tapi hari ini aku bolos!
Setelah mobil Ryan keluar dari kampus, aku langsung pergi ke Café Cookies!
Seperti hari-hari sebelumnya, aku ga bisa ketemu Gara…
Aku coba cari informasi tentang Gara semampuku…
Tapi tak ada !!! :((
Aku malas pulang! Setelah memaksa Shila, akhirnya ia mengijinkanku menginap di kosannya.

Kamis, 5 Agustus 2010
Tadi pagi aku dijemput paksa oleh orangtuaku dan Ryan dari kosan Shila.
Rasanya seperti narapidana yang kabur dari penjara!
Tangisanku sangat tak berarti apa-apa.
Mereka memarahiku, membentakku di depan semua penghuni kosan. Aku malu!

Jumat, 6 Agustus 2010
Mulai hari ini aku tidak diijinkan pergi kuliah.
Orangtuaku bilang Ryan yang akan menjamin kehidupanku kelak, jadi aku tak perlu capek kuliah apalagi bekerja.

Sabtu, 7 Agustus 2010
Tadi sore aku dengar Ayah dan Bunda sedang berbincang dengan keluarga Ryan. Mereka membicarakan tentang pernikahanku dan Ryan… dadaku sesak!!!

Minggu, 8 Agustus 2010
Aku masih ga boleh keluar rumah.
Ah, temanku satu-satunya cuma buku harian ini!
Bosan!

Minggu, 10 Oktober 2010
Tadi siang Ryan ke rumah, dia bilang setelah menikah nanti… ia akan mengajakku tinggal di daerah Lembang, Bandung, katanya tempatnya bagus, dan aku pasti akan menyukainya.
Akhh!!! Dimanapun itu, aku tetap tak akan bisa menemukan Gara !!!

Minggu, 14 November 2010
Kabarnya pernikahanku akan dipercepat…
Aku mulai stress!
Gara, kamu dimana…???!!!

Kamis, 30 Desember 2010
Selamat tinggal Jakarta…
Selamat tinggal Shila, Sam…
Selamat tinggal cinta, selamat tinggal Gara!!!!
Aku akan berhenti mencarimu, merindukanmu, aku berhenti mencintaimu!
Satu hal yang baru kusadari, kau tak pernah mencariku…

Silphia Rizkita (Phia)

Gara langsung menutup buku harian Silphia, setelah bagian terakhir itu selesai ia baca. Satu-satunya kenang-kenangan yang dititipkan Silphia untuk Gara melalui Sam. Sakit memang, tapi akhirnya ia tahu bahwa Phia meninggalkannya bukan karena berkhianat, melainkan karena ia menuruti keinginan orangtuanya.
Ah, padahal sudah berkali-kali Gara membaca isi buku harian Silphia itu, tapi ia tak bosan. Gara selalu membacanya saat ia rindu pada Phia, gadis yang dua tahun lalu sering duduk bersamanya di sini. Pertemuannya dengan Phia tak pernah sekalipun ia sesali, karena pertemuan itu menjadi awal pembelajaran baru baginya. Cinta bagi banyak orang tentu merupakan suatu kebahagiaan, tapi bagi sebagian orang yang tak bisa memilikinya cinta adalah kesakitan, dan mungkin masih banyak definisi lain yang berbeda tentang cinta. Seperti cintanya bersama Phia yang ternyata tak berarti apa-apa jika tanpa restu orangtua Phia.
Gara ingat betul, pertama kali bertemu Phia, disini! Di Café Cookies… malam minggu, seperti sekarang saat lagu “Bukan Salah Kita” yang dinyanyikan oleh Judika diputar. Gara tersenyum, ia ingat betul itu adalah lagu kesukaan Phia.
“Maaf aku tak pernah membiarkanmu menemuiku! Bukan karena aku tak ingin bertemu denganmu, tapi aku merasa tak pantas ada disamping kamu! Meskipun cinta kita berdua pada akhirnya tak berarti apa-apa, aku selalu berdoa buat kamu Phia, semoga kamu selalu bahagia dengan suamimu… Aku sangat merindukanmu…”

***

NEGERI ANAK NELAYAN


(Cerpen Hana Rulistiawan)

Pagi belum nyata. Saat kebanyakan orang masih berselimut, aku berjalan di pinggir pantai. Aku senang diam di pinggir pantai saat matahari belum tampak sambil mengamati para nelayan yang sedang bekerja. Saat sedang asyik menikmati pemandangan pantai waktu subuh, pandanganku tertuju pada seorang gadis seumuranku yang kukenal dengan baik.
"Ayah, bukankah cuaca masih tidak baik untuk berlayar? Kenapa tidak tunggu sampai ombak tidak terlalu tinggi?" tanya Lastri pada Ayahnya. Lastri adalah seorang gadis manis berkulit hitam. Dia tetanggaku yang juga anak dari salah satu nelayan di desa ini. Rumahnya hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahku. Tidak berbeda dengan Lastri, Ayahku juga seorang nelayan sederhana, sedangkan Ibuku membantu dengan berjualan makanan ringan atau juga sesekali ikut berlayar bersama Ayah.
"Lastri, Pak Broto sudah kehilangan kesabarannya. Ia ingin agar Ayah melunasi hutang-hutang ayah besok lusa. Kalau tidak, Pak Broto akan menyita perahu dan rumah kita," jawab Ayahnya.
Sambil membantu mempersiapkan, berulangkali Lastri terlihat membujuk Ayah dan Ibunya untuk mengurungkan niat mereka. Tapi aku mengerti, sangat mengerti bahwa apa yang Ayah dan Ibu Lastri lakukan adalah untuk menyambung kehidupan mereka. Bagaimana jika perahu itu diambil Pak Broto? Ayah Lastri tentu akan menjadi seorang pengangguran. Lalu rumahnya? Akh, gubuk kecil yang terbuat dari bilik itu, menjadi tempat yang selama ini mereka tinggali menjadi satu-satunya tempat berlindung dari sengatan panas matahari, juga saat langit memuntahkan berliter-liter air hujan yang dibarengi petir yang bersahutan.
"Lastri, Ibu titip adik-adikmu!" pesan Ibunya.
"Tentu bu, Lastri pasti menjaga mereka," kata Lastri meyakinkan.
Huuuffttthh, Lastri terlihat menghela napas panjang, saat perahu ayahnya mulai meninggalkan bibir pantai. Aku tahu benar Lastri khawatir dengan orang tuanya.
Kekhawatiran Lastri tentu beralasan, pasalnya sudah sejak lima hari lalu nelayan disini tidak diijinkan melaut. Gelombang tinggi dan cuaca buruk menjadi alasan kuat bagi para nelayan untuk berdiam sejenak di rumah-rumah mereka. Tapi, tidak sedikit pula nelayan yang membandel yang tetap saja melaut, seperti yang Ayah Lastri lakukan sekarang. Bukan lantaran tidak peduli pada nyawa, tapi himpitan kemiskinan adalah alasan utama mereka. Yah, siapa yang akan berdiam diri melihat anak istrinya kelaparan?
Segera setelah bayangan perahu ayahnya tidak tampak lagi, Lastri pergi meninggalkan pantai. Kini hanya ada aku dan beberapa nelayan yang sedang membereskan ikan-ikan hasil tangkapannya di sini.
Matahari mulai merangkak naik. Pantai mulai ramai dengan anak-anak nelayan miskin yang berlari-lari kesana kemari. Aku pulang ke gubuk yang tak jauh dari pantai, satu dari puluhan rumah para nelayan yang bertumpuk dan berdesakan. Bau amis ikan sudah seperti aroma pengharum ruangan bagi kami. Tidak ada pilihan aroma lain yang bisa kami hirup. Dimana-mana hanya ada ikan dengan berbagai jenis.
Sampai di depan rumah, aku melihat Ikbal, adik pertama Lastri sudah bersiap pergi ke sekolah, sedangkan adik bungsunya yang baru berumur 4 tahun, Isal, sepertinya masih tidur pulas di atas satu-satunya kasur busa tipis yang mereka miliki. Aku mengenal keluarga Lastri dengan baik. Dia gadis yang baik dan rajin. Kami memang dekat, hanya saja kesibukan Lastri mengurusi adik-adiknya membuat kami jarang mengobrol.
Biasanya sambil menunggu Isal bangun, Lastri memasak sepanci air untuk minum dengan menggunakan kayu bakar. Di desa ini tidak ada kompor gas, yang ada hanya kayu. Bukan karena di desa kami tidak mengenal gas, hanya saja rasanya penghasilan keluarga nelayan miskin seperti kami tentu akan jauh lebih memilih kayu bakar dengan efek asap mengepul ketimbang harus menyisihkan jatah untuk membeli gas.
Umur Lastri yang sudah menginjak angka tujuh belas memaksanya agar mengerti tentang keadaan keluarga. Keluarga nelayan miskin yang hidup hanya dari ikan yang dititipkan Tuhan di lautan, yang harus ditangkap dengan taruhan nyawa. Dulu aku dan Lastri sempat satu sekolah, tapi sejak lulus SD, Lastri sudah tidak lagi meneruskan sekolah. Bukan lantaran malas atau tak ingin. Tapi, lagi-lagi lantaran garis takdir sebagai anak nelayan miskin yang menjadikannya buruh cuci para tetangga yang bekerja di beberapa pabrik yang berjarak 10 km dari desa, mereka yang memang tak punya waktu untuk mencuci. Hmm, untuk apa juga mereka capek mencuci, sedang disini ada Lastri yang siap kapanpun mereka perlukan. Tidak hanya Lastri, si gadis pencuci, beberapa anak nelayan yang nasibnya sama seperti Lastri pun melakukannya, dari mencuci, berjualan di pasar, hingga menjadi pembantu rumah tangga sudah menjadi hal yang sangat biasa disini.
Keadaan keluargaku memang tidak lantas membuat kehidupanku seperti Lastri. Keluargaku cukup mampu, meskipun juga tidak kaya. Tapi rasanya masih bisa membiayai aku sekolah sampai tingkat SMA.
Setelah Isal bangun, Lastri biasa mengajaknya berkeliling untuk mengambil cucian, walau terkadang ada beberapa tetangga yang mengantarkannya ke rumah. Lalu, saat Lastri tengah sibuk mencuci, Isal dibiarkan bermain dengan anak-anak tetangga.
***
Matahari tenggelam. Hari mulai gelap.
“Sedang apa kamu, Las?” tanyaku pada Lastri yang diam mematung di ambang pintu rumahnya.
“Aku sedang menunggu Ayah dan Ibu pulang,” jawab Lastri sambil tersenyum.
“Oh… ya sudah, aku masuk dulu ya!” kataku sambil membereskan jemuran di depan rumah. Lastri mengaguk sambil tersenyum.
Kini suasana di sekitar desa menjadi sunyi. Udara sangat dingin menancap di kulit. Angin laut bertiup kencang. Sepertinya akan datang badai.
Malam sudah terlalu larut, aku memutuskan untuk segera tidur. Tetapi, saat hendak berbaring, tiba-tiba Duaaarrrrrrr! Sekelebat sinar disusul suara menggelegar membuatku tersentak. Dentuman petir saling bersahutan memekakkan telinga.
“Apakah badai akan datang?” gumamku sambil mengintip keadaan di luar dari jendela. Di luar begitu pekat, awan hitam bergulung-ngulung, kulihat Lastri masih berdiri di ambang pintu rumahnya. Aku mengerti kekhawatirannya. Segera menutup jendela kembali. Tak lama kemudian hujan turun.
***
Pagi belum nyata benar. Tidak ada kokok ayam jantan, karena memang tidak ada yang memeliharanya di sini. Seorang pria paruh baya bersiap melantunkan adzan di masjid yang ada di ujung gang sempit ini.
Aku hendak pergi ke pantai seperti biasa. Betapa kaget saat kudapati Lastri masih berdiri di ambang pintu rumahnya. Tubuhnya terlihat lemas. Aku yakin semalaman dia tidak tidur.
Kulanjutkan langkah kakiku menuju pantai. Kularikan pandanganku pada seluruh penjuru pantai, berharap dua sosok manusia yang kucari dapat kutemukan. Ah, apa mereka lupa waktu? Hingga subuh pun mereka masih terkatung-katung di lautan demi mendapatkan banyak ikan untuk di jual dan hasilnya akan dibayarkan pada Pak Broto, si lintah darat itu! Sepengetahuanku ini pertama kalinya Ayah dan Ibu Lastri tidak pulang semalaman, apalagi hanya karena mencari ikan.
Matahari mulai muncul, saatnya aku pulang. Langkahku terhenti tepat di depan rumah Lastri saat Mbok Darmi berteriak-teriak memanggil Lastri.
“Las… Lastriiii… !!”
“Iya mbok?” jawab Lastri. Isal yang sedang disuapi Lastri menatap serius pada Mbok Darmi.
Mbok Darmi membisikkan sesuatu ke telinga Lastri. Seketika wajah Lastri yang cantik itu berubah menjadi keruh. Bak awan hitam yang kulihat tadi malam. Lastri langsung berlari ke luar rumah sambil berteriak pada kedua adiknya, “kalian berdua tunggu di sini, jangan kemana-mana!”
Lastri berlari sekencang yang dia bisa menuju pantai sambil menangis. “Tuhan, kenapa Kau pulangkan Ayah dan Ibuku dalam keadaan tak bernyawa?” ucap Lastri sambil sesenggukan saat dia berjalan tepat di depanku. Aku tersentak. Bukan main musibah yang dipikul salah satu teman baikku itu. Aku langsung ikut berlari mengikutinya.
Lastri tampak mendekap satu persatu orang yang amat dicintainya itu. Mereka basah, beku, sangat dingin. Diperkirakan saat hujan kemarin malam gelombang meninggi dan perahu yang mereka gunakan terbalik, lalu keduanya tersapu ombak. Mayat mereka ditemukan mengapung jauh dari perahu.
Aku baru sadar, ada dua anak laki-laki berdiri disampingku, Ikbal dan Isal! Aku langsung memeluk mereka erat. Sangat erat. Mereka menangis, semakin keras. Dadaku sesak.
***
Selesai pemakaman, Ikbal dan Isal masih menangis. Sedangkan Lastri tampak lebih tenang, walaupun aku tahu hatinya pasti hancur kala mendapati orang-orang yang dicintainya tak lagi bernyawa. Aku sangat mengerti apa yang mereka rasakan. Tapi hidup mereka harus terus berlanjut.
Saat tiba di rumah Beni dan Lian masih saja terisak. Aku mulai tak tahan melihatnya. “Sudahlah, ikhlaskan mereka,” kataku. Aku tahu, ucapanku itu mungkin tidak ada artinya bagi mereka. Bagaimana tidak, kini tak ada lagi penopang hidup mereka.
“Kuatlah Las, adik-adikmu sangat membutuhkanmu”, bisikku pada Lastri sambil mendekapnya erat. Sejenak Lastri pejamkan mata, menghela napas panjang, dan tersenyum padaku. Yah, dia memang harus kuat demi kedua adiknya.
Tok tok tok! Seseorang mengetuk pintu rumah dengan sangat keras. Aku bergegas membukanya. Tampaklah seorang berbadan tegap. Postur tubuhnya yang besar dan raut wajah sangarnya lebih tepat jika diibaratkan seekor monster besar yang siap menikam mangsanya. Pak Broto! Aku kenal betul pria itu.
“Aku dengar Ayah dan Ibumu mati terseret ombak?” tanya Pak Broto tegas pada Lastri. Mati? Itulah Broto, lelaki yang sudah tidak muda lagi itu memang tidak pernah memperhatikan etika kesopanan dan tak pernah berbasa-basi.
“Ya…” jawab Lastri pelan.
“Berarti hutang-hutang Ayahmu kau yang bayar?”
Diam. Aku bingung. Dengan apa Lastri harus membayarnya?
“Pak Broto, orangtuanya kan baru saja meninggal… berilah mereka sedikit waktu! Bagaimana bisa anak kecil seperti mereka mampu membayar hutang yang begitu besar?” kataku ikut bicara. Lastri hanya menunduk lemas. Dia pasti bingung, bagaimana bisa dia membayar hutang Ayahnya.
“Baiklah, aku beri waktu dua hari! Tidak lebih!” kata Pak Broto setelah berpikir beberapa saat.
Belum sempat Lastri menjawabnya, Pak Broto bersama para ajudannya langsung pergi, mungkin dia tidak tahan lama-lama berada di gubuk kecil ini.
“Bagaimana ini Lana? Darimana Aku bisa dapat uang sebanyak itu?”, tanya Lastri padaku. Suaranya parau, tampak benar beban berat sedang berusaha dia pikul seorang diri. Aku tidak tega melihatnya. Bagaimana pun dia adalah temanku sejak kecil. Sebenarnya hutang Ayah Lastri pada Pak Broto awalnya 2 juta, tapi entah bagaimana ceritanya saat ini hutang Ayah menjadi 5 juta.
“Tenang Las, kita pasti dapat jalan keluarnya,” kataku sambil merangkul pundakku. Aku berusaha menguatkannya.
“Harga perahu sekarang berapa ya, Lan?” tanya Lastri tiba-tiba.
“Hmm, aku tidak tahu, Las. Memangnya kenapa? Kau tidak berniat untuk menjual perahu Ayahmu kan?” tanyaku mulai curiga. “Lastri, kau tahu sendiri itu perahu kesayangan Ayahmu sejak dulu. Sudah banyak yang menawarnya, tapi tak pernah sekalipun ia berniat menjualnya”.
“Aku tahu Lan, tapi aku tak punya pilihan lain! Sekarang, darimana aku bisa mendapat uang 5 juta dalam dua hari? Sedangkan upah cucianku sehari tidak lebih dari sepuluh ribu!”
Aku diam, menunduk. Ikbal dan Isal yang sedari tadi mendengarkan kami pun hanya bisa diam. Aku mengerti apa yang ada dipikiran Lastri.
***
Keesokan harinya Lastri mencoba menawarkan perahu ayahnya pada para saudagar, tapi tidak ada satupun yang berminat membelinya. Tapi Lastri tetap tak mau menyerah. Lastri mengelilingi desa berharap ada yang mau membeli perhau Ayahnya. Tapi masih saja tak ada yang mau beli, Lastri pun mulai persimis.
“Lastri!” sengaja aku kagetkan Lastri yang sedari tadi terlihat asyik melamun di teras rumahnya.
“Eh, iya Lana… ada apa?”
“Ada kabar baik, Las!” kataku sambil tersenyum.
“Kabar baik apa?”
“Tadi Ayahku bilang mau membeli perahumu!”
Lastri menatapku dengan haru. Seperti ada setrum dalam darahnya. “Serius Lan?” tanyanya mulai bersemangat.
Aku hanya mengangguk sambil tetap tersenyum. Dia langsung memelukku erat. Sepertinya berton-ton beban di bahunya sedikit berkurang. Aku tersenyum. Harganya memang sedikit lebih dari hutang Ayah Lastri. Paling tidak dapat menjadi simpanan mereka. Tanpa banyak bercakap, aku langsung pamit dan bergegas pulang menuju rumah meninggalkan Lastri yang hanya bisa diam.
Aku memaksa Ayahku untuk membeli perahu Lastri. Awalnya Ayah menolak, karena tabungan keluarga kami sengaja Ayah kumpulkan untuk biaya kuliahku nanti. Tapi setelah kupaksa, akhirnya Ayah mengabulkan permintaanku. Aku ingin sekali bisa membantu Lastri dan hanya itu yang bisa aku lakukan untuk Lastri sahabatku.
Mulai saat itu, sampai seterusnya kehidupan Lastri kembali seperti biasa. Mencuci pakaian tetangga, mengasuh Ikbal dan Isal, membantu Mbok Darmi, sampai merindukan Ayah dan Ibunya. Meskipun kami hanya keluarga nelayan miskin, kami tetap senang tinggal di desa ini, di negeri anak-anak nelayan.

***